Friday, April 07, 2006

Budaya Jawa dan Kekerasan Sepakbola

Oleh : Bambang Haryanto



Filsuf Perancis Jean Paul Sartre (1905-1980) pernah bilang, dalam sepakbola semuanya jadi rumit karena hadirnya pemain lawan. Dalam konteks Indonesia, sepakbola makin bertambah rumit karena hadirnya suporter tim yang bertanding, sehingga melahirkan lelucon betapa Indonesia pantas disebut sebagai negara sarang teroris. Buktinya, mereka legal berkumpul di stadion-stadion, juga leluasa melakukan aksi teror ketika tim yang ia dukung kalah.

Aksi teror dan kerusuhan suporter di Jawa Tengah meledak lagi (12/3/2006) di Jepara. Sebagai suporter dan football flaneur, istilah dari penyair Perancis, Charles Baudelaire (1821–1867) untuk turis bola yang gemar menjelajah kota untuk nonton sepakbola (di Pulau Jawa sampai Singapura), saya pribadi kenyang menemui aksi-aksi brutal suporter sepakbola Indonesia. Tetapi hal buruk tersebut senyatanya tak hanya meledak di masa kini.


Adalah Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, secara tajam mengungkap borok tindak kekerasan dunia suporter sepakbola Indonesia sejak jaman kolonial hingga kini. Dalam tulisannya "View from the Periphery : Football in Indonesia" dalam buku Garry Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities (1999), ia memakai pisau bedah dari perspektif budaya dan politik dalam analisis yang provokatif.

Ditilik dari kajian budaya, menurutnya, tidak dapat diingkari bahwa Indonesia kuat dipengaruhi budaya suku mayoritas, suku Jawa. Budaya Jawa memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum.

Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame, dan mediasi oleh fihak ketiga. Apabila meletus konflik, terutama ketika saling ejek dan saling hina terjadi, maka yang muncul adalah perasaan malu dan kehilangan muka.

Dengan landasan sikap interaksi antarmanusia tipikal seperti itu, membuat pertandingan sepakbola menjadi problematis. Sebab sepakbola adalah konflik eksplisit, dimana seseorang sangat mudah untuk merasa dihinakan. Adanya tackle keras, trik licin mengecoh lawan, sampai keputusan wasit yang mudah ditafsirkan secara beragam, jelas membuat penghindaran menjadi hal mustahil. Apalagi ketegangan itu diperburuk oleh fakta bahwa tindak penghinaan tersebut tidak hanya berlangsung di muka umum, tetapi nyata-nyata di depan ribuan pasang mata. Reaksi tipikal orang Jawa ketika dibawah tekanan semacam itu adalah ledakan kemarahan dan amuk tindak kekerasan.

Tesis di atas dapat dinilai parsial dan hipotetis. Karena argumen yang sama kurang meyakinkan bila diterapkan untuk kelompok etnis Indonesia lainnya, yang juga memunculkan tindak kekerasan serupa dalam teater sepakbola. Idealnya kemudian, penjelasan secara kultural tadi direntang dengan menggambarkan kesejajaran secara spekulatif antara sepakbola dengan budaya politik, sehingga mencakup pemain dan suporter dari semua latar belakang etnis di Indonesia.


Kalah dan Amuk

Dalam budaya demokrasi, kalah-menang secara fair play merupakan bagian sah suatu kompetisi. Di pentas Piala Dunia 2002 kita diberi keteladanan ketika tuan rumah Korea Selatan atau Jepang mengalami kekalahan, ternyata tidak terjadi kerusuhan sama sekali. Hal sebaliknya justru meletus kerusuhan di Moskwa ketika Rusia dikalahkan oleh Hidetoshi Nakata dan kawan-kawan.

Sementara itu di pentas sepakbola Indonesia, kerusuhan masih mudah meruyak ketika suatu tim mengalami kekalahan. Realitas ini menegaskan betapa dalam masyarakat non-madani, bahwa ide mengenai kompetisi yang selalu melibatkan konflik, belum berurat dan berakar. Bahkan perilaku menjunjung tinggi sportivitas dipandang sebagai hal bodoh. Teater sepakbola Indonesia kaya dengan contoh pelecehan terhadap sportivitas olahraga.

Misalnya dalam pertandingan terakhir putaran kedua Kompetisi Perserikatan PSSI Wilayah Timur 1988, tuan rumah Persebaya digulung Persipura dengan skor fantastis, 0 - 12. Persipura dengan kemenangan itu berarti menyisihkan peluang PSIS Semarang sebagai juara bertahan 1986/1987 untuk berlaga ke Senayan. Tetapi kemenangan fantastis itu, semua publik sepakbola mengetahuinya, merupakan kemenangan yang tidak wajar, diatur para eksekutif kedua tim perserikatan tersebut.

Dalam perempat-final Piala Tiger 1998 di Hanoi, Vietnam, terjadi peristiwa aib yang melibatkan tim nasional Indonesia. Peristiwa hitam itu terjadi ketika tim yang bertanding, baik tim Thailand atau pun Indonesia, sama-sama tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu sportivitas.

Kedua tim berusaha mati-matian agar memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya, agar terhindar bertemu tuan rumah Vietnam di semi final. Saat skor 2-2 pada perpanjangan waktu, pemain Indonesia Mursyid Effendi menembak ke gawang timnya sendiri. Kiper Indonesia tidak berusaha menepis. Justru banyak pemain Thailand berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar tidak kebobolan.

Semua ilustrasi menyedihkan itu menunjukkan semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia. Berdasar pendapat banyak ahli, memang itulah cermin sejati bangsa Indonesia yang lebih condong sebagai sosok masyarakat non-madani ketimbang masyarakat yang demokratis. Kalau terus seperti ini, kapan Indonesia bisa masuk Piala Dunia ?

Antonio Gramsci pernah bilang, sepakbola merupakan model masyarakat individualistik yang membutuhkan prakarsa, kompetisi dan konflik. Tetapi segalanya diatur oleh peraturan tidak tertulis yaitu hukum fair play.

Mari kita introspeksi diri. Apakah masyarakat kita selama ini telah kondusif untuk mekarnya segala prakarsa, berbudaya sehat dalam berkompetisi, arif menyelesaikan beragam konflik, sekaligus patuh terhadap segala peraturan tertulis dan tidak tertulis secara konsekuen ?

Selama kita belum mengalami perubahan budaya seperti disyaratkan Gramsci, jangan harap prestasi sepakbola kita bisa ikut berbicara di pentas dunia. Hari-hari mati prestasi sepakbola Indonesia masih teramat panjang sekali. Dan kerusuhan antarsuporter seperti yang meledak di Jepara itu pasti masih terus terulang dan terulang kembali ! (Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 4 April 2006).


hhsim

Tuesday, April 04, 2006

Barry Sihotang, Deep Throat dan Sepakbola Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto



Blogger of The Year 2005 pantas disandang oleh Herman Saksono. Gara-gara jahil menulis esai cara menghentikan balita ngupil dengan “Cara SBY-JK”, ia harus berurusan dengan polisi. Bagaimana “Cara SBY-JK” menghentikan kebiasaan jelek mengorek-orek isi hidung oleh anak-anak bawah lima tahun atau bawah lima puluh tahun itu ?

“Naikkan tarif ngupil hingga 80 persen.”

Lelucon cerdas. Keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM hingga mencekik masyarakat bawah telah ia olah menjadi lelucon sekaligus kritikan yang pcdas. Dalam khasanah comedy writing, teknik melucu yang dipakai mahasiswa Teknik Elektro UGM itu dikenal sebagai perbandingan.

Tetapi oleh pemerintah duet SBY-JK yang disebut-sebut memiliki kecenderungan narkisis, jaim, getol menjaga citra, maka ulah Herman Saksono tersebut menjadi urusan negara. Kini “Cara SBY-JK” itu di blognya telah berubah jadi “Cara Indonesia.”


Selamat datang di dunia blog, fasilitas jurnal atau buku harian online yang kini jadi heboh di dunia. World Summit on Information Society 2 (WSIS 2) di Tunisia, pertengahan November 2005 lalu, meluncurkan kredo : bila Anda tidak mampu berekspresi, Anda dianggap tidak ada, tidak eksis. Bagi saya sebagai seorang blogger, ijinkanlah saya membebek kredo tersebut : apabila Anda tidak memiliki situs blog maka eksistensi Anda juga dianggap tidak ada di dunia.

Ulah Herman tersebut memang tidak berpanjang-panjang menjadi urusan polisi. Tetapi juga gara-gara blog, seorang Ellen Simonetti, seorang pramugari berambut blonde dan cantik dari Delta Air Lines, harus rela kehilangan pekerjaan. Ia menjadi korban dooced, yang menurut majalah Business Week (11/5/2005) merupakan istilah yang digunakan bila seseorang kehilangan pekerjaan akibat blog. Ya seperti Ellen Simonetti tersebut.

Memanglah, pegawai dapat dipecat bilamana memuat data-data sensitif perusahaan di blog mereka. Tetapi ngomong-ngomong, dari mana istilah dooced itu berasal ? Ternyata istilah tersebut muncul ketika Heather Armstrong dipecat karena situs miliknya, dooce.com, memuat sindiran pedas terhadap perusahaan tempat ia bekerja.


Mengobrolkan masalah blog dan pecat-memecat, saya lalu teringat sebuah nama : Barry Sihotang. Anda sebagai pencinta sepakbola nasional, sudahkah Anda mengenal nama ini ?

Yang saya tahu, Barry Sihotang semula adalah wartawan sepakbola untuk Harian Kompas. Tahu-tahu, kalau tidak salah, dirinya pernah pula mengelola situs web www.sepak-bola.tv, yang kini mungkin sudah tidak ada lagi. Berita di situs ini pernah mendapat protes keras dari Aremania dan Laskar Benteng Viola karena dianggap informasinya tidak akurat. Barry Sihotang pun kemudian memberikan klarifikasi, juga meminta maaf.

Konon, sejak saat itu situs ini kapok memuat berita-berita tentang suporter sepakbola Indonesia. Ia juga tak jarang muncul sebagai komentator di televisi untuk pertandingan sepakbola internasional.

Dengan saya, kami hanya saling kenal kebo belaka. Kalau di kompleks Gelora Senayan atau di lorong kantor PSSI (“beberapa kali saya ikut nebeng mandi dan sholat di musholanya, termasuk mendoakan keberhasilan tim Indonesia”), paling-paling kalau ketemu hanya saling melambai atau melempar senyum.


Barry Sihotang adalah nama yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan ketika PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) ternyata tidak becus mengelola pekerjaan administratif mereka yang elementer. Mengurus surat-menyurat. Akibatnya pun fatal. Kita tahu kemudian, Indonesia mendapat sanksi tanpa kompromi dari Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), yang membuat tim Persipura (Jayapura) dan Arema (Malang) terpaksa gagal berlaga di ajang kompetisi Liga Champions Asia 2006.

Skandal yang sempat menuai aksi demo dan kecaman keras tetapi hanya setengah hati dari Aremania itu menimbulkan dua jenis spekulasi. Pertama, keteledoran ini mungkin suatu kesengajaan. Pengelolaan persepakbolaan Indonesia yang tak kunjung memiliki prestasi internasional yang berarti, di kancah Asia Tengara pun, mungkin membuat mereka memutuskan untuk melakukan aborsi.

Kedua, keteledoran tersebut jelas menunjukkan betapa pengelolaan persepakbolaan kita sebagai business as usual, seadanya. Asal jalan. Tak ada bara passion, juga tidak ada keinginan untuk bekerja maksimal guna meraih tingkat excellence. Salah urus persepakbolaan kita adalah realitas yang benar-benar sudah kronis.

Kini ketika borok itu terkuak begitu nyata, seorang Barry Sihotang menjadi tumbal. Sebagai kambing hitam. Gonjang-ganjing di PSSI/BLI itu mungkin dapat diparalelkan dengan peristiwa heboh ketika Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi terbelit urusan surat rekomendasi ke Departemen Luar Negeri seputar penunjukan perusahaan untuk merenovasi kantor kedubes RI di Seoul.

Surat itu lalu diwartakan sebagai surat palsu. Lalu ada seorang anak buah dari Sekretaris Kabinet itu disebutkan sebagai fihak yang bersalah, lalu yang bersangkutan dikeluarkan, dikembalikan ke institusi militer, tempat ia semula berasal.

Barry Sihotang mendapat vonis harus keluar dari kepengurusan PSSI. Sementara boss-nya, Andi Darusalam Tabusalla, hanya mendapat hukuman berupa teguran keras. Kini, which way you going, Barry ? Kemana kini Barry Sihotang akan melenggang ? Kita tidak tahu apa langkah seorang Barry Sihotang selanjutnya.


Saya kini tergoda untuk berandai-andai. Bagaimana kalau seorang Barry Sihotang memutuskan diri untuk berani menjadi seorang deep throat , demi kemajuan sepakbola Indonesia ?

Deep Throat adalah nama sandi untuk informan, orang dalam, pada pemerintahan Presiden Richard Nixon. Di tahun 1974 dalam usahanya memenangkan pemilihan umum, anak buah Nixon yang dari Partai Republik telah melakukan penyadapan terhadap Gedung Watergate di Washington, DC, yang merupakan markas Partai Demokrat, seterunya. Skandal ini terbongkar oleh duo wartawan koran The Washington Post, Woodward dan Bernstein, karena mendapat bocoran informasi penting dari Deep Throat tadi. Presiden Nixon dipaksa mengundurkan diri.

Atau, Barry Sihotang dapat tampil sebagai whistle blower. Bernyanyi. Dirinya dapat meluncurkan situs blog untuk menceritakan segala seluk-beluk bagaimana sebenarnya selama ini organisasi PSSI itu dijalankan. Membongkar borok-borok yang ada.

Atau menulis buku. Atau membentuk LSM semacam watch dog, pemantau. Kalau dalam mencermati kasus-kasus korupsi di Indonesia ada lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), bagaimana kalau ia luncurkan Indonesia Sports Watch atau Indonesia Soccer Watch ? Mengapa penting dan perlu ?

Karena sudah terlalu lama jalannya lembaga-lembaga olahraga, terutama organisasi sepakbola kita, hanya mengandalkan keberadaan orang kuat yang memiliki sumber keuangan yang kuat. Mereka dan gang-nya, yang orang itu-itu pula, berdasarkan koncoisme dan bukan berdasar merit system, terus saling berotasi untuk memangku jabatan tertentu dalam lembaga sepakbola kita.

Mereka seperti tidak pernah didata atau diaudit mengenai apa saja keberhasilan dan terutama kegagalan-kegagalan mereka selama ini. Ibarat danau, lembaga sepakbola kita tak ada asupan sumber air baru dan tidak ada pula air yang keluar mengalir. Air itu beracun.

Barry Sihotang kini memiliki panggung dan momen sejarah terbaik untuk berbuat sesuatu yang penting dan berarti bagi kemajuan sepakbola Indonesia di masa depan. Membersihkan genangan air yang sudah tidak higinis itu. Tetapi kalau ia diam saja, namanya pun akan segera hilang seperti debu.

Umpama nanti Barry Sihotang betul-betul berani untuk kembali menulis secara tajam, jujur, sistematis dan bertanggung jawab dalam membongkar hal-hal yang tidak beres dari pengelolaan PSSI dan BLI, dengan ketajaman seorang wartawan harian Kompas dalam situs blognya, ijinkanlah saya secara dini untuk berani menominasikannya kelak sebagai : Blogger of The Year 2006. Bagaimana pendapat Anda ?


Wonogiri, 31 Maret 2006



hhsim

I Believe The Withe Magic

Oleh : Bambang Haryanto



MENGAWAL MERAH PUTIH. Peter Withe menorehkan tanda tangan di kaosku.. Terjadi setahun lalu, di lobi Hotel Amara, Tanjong Pagar, Singapura. Inilah menit-menit menjelang kita bersama timnas Indonesia berkonvoi menuju National Stadium Singapura Kallang, untuk melakoni. pertandingan leg 2, Final Piala Tiger 2004/2005.

Di kaosku itu tertulis I Believe The Withe Magic. Aku percaya mukjijat yang bakal dilahirkan oleh seorang Peter Withe. Di bagian lain kaos, di dada, tertulis slogan Pasoepati Mission Possible Tiger Cup 2004/2005 Tour : Tame The Lions, Heal The Nation. Bendera Merah Putih dan simbol Garuda di lengan kanan dan kiriku.

Tim nasional Indonesia, impianku, akan mampu membekuk tim Singapura dan menjadi juara. Aku khayalkan, dampaknya pasti dahsyat untuk ikut bisa menyembuhkan luka bangsa, setelah Aceh di ujung 2005 dilanda bencana tsunami yang sangat luar biasa.

Image hosted by Photobucket.com

Suporter Bule Ikut Mendukung Indonesia. Tribun khusus suporter sepakbola di Stadion Kallang Singapura juga diwarnai dengan kehadiran beberapa suporter bule. Termasuk suporter cewek bule. Nampak saya berfoto dengan mereka. Sosok Peter Withe diperkirakan sebagai salah satu faktor munculnya dukungan mereka bagi timnas Indonesia. (Foto : Republik Aeng-Aeng, Solo).


THE EAGLE HAS LANDED. Dasar suporter, segala upaya dilakukan untuk mendukung timnas. Sehari sebelum saya dan Mayor Haristanto, pendiri Pasoepati, nglurug untuk terbang menuju negeri bersih dan teratur ini, saya telah mengirimkan email ke Hotel Amara. Untuk disampaikan ke timnas Indonesia :

The eagle has landed. Tim Garuda Indonesia telah mendarat di negeri para singa. Misi harus dituntaskan. Indonesia harus menjalankan misi yang masih mungkin, mission possible, menjadi juara Piala Tiger 2004. Semua rakyat dan bangsa Indonesia merindukannya.

Apalagi di tengah deraan bencana dahsyat yang mengguncang Aceh, membuat kita semua bangsa Indonesia berduka, bahkan juga dunia, maka pasukan Peter Withe diharapkan mampu memberikan kemenangan yang dapat menyejukkan hati bangsa yang sedang terluka ini. Ayo, Ponaryo dan kawan-kawan, jinakkan singa-singa itu dan sembuhkan luka bangsa kita !”


IMPIAN KANDAS. Singa tak bisa dijinakkan di kandang mereka sendiri. Magisnya Peter Withe tidak mampu meredam Aedi Iskandar dan kawan-kawan. Di Hotel Amara malam itu tidak ada pesta. Lantai 7 tempat pemain menginap, yang pekat hanyalah suasana hambar. Ismed Sofyan yang mengeluarkan segala isi kulkasnya, sambil bernostalgia ketika ia masih main di Solo, tetapi semua omongan dan kudapan itu menguap begitu saja.

Mengapa sepakbola Indonesia kembali tak mampu bicara di Asia Tenggara ? Apa yang salah dari pengelolaan sepakbola di negeri berpenduduk ke empat terbesar di dunia ini ? Di SEA Games 2005 Manila, anak-anak asuhan Peter Withe kembali pulang juga dengan kegagalan.

Kegagalan ini, menurut Mas Ito, sebutan akrab Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (yang punya nomor HP cantik) dan guru besar psikologi UI, karena kecenderungan bangsa Indonesia yang overdosis mengaitkan segala hal dengan agama. Keberangkatan tim olahraga selalu diiringi doa-doa. Padahal, menurutnya, olahraga punya parameter sendiri : stopwatch, gol dan skor. Wacana eksotis untuk didiskusikan lebih lanjut.

Bagi saya, beruntun kegagalan timnas kita selalu mudah mengingatkan isi majalah Asiaweek (5/6/1998) yang terbit menjelang Piala Dunia 1998 di Perancis. Isinya lugas, menguliti hidup-hidup kekurangan, serta menyodok abis prestasi sepakbola Asia Tenggara dengan label sebagai buangan. Out of this world.

Khusus untuk citra persepakbolaan Indonesia, telah termuat foto besar aksi Rocky Putiray dengan rambut warna-warninya, tetapi disebut sebagai Peri Sandria. Tetapi yang lebih bikin merasa sangat ngenes, majalah itu menyimpulkan bahwa kedodorannya prestasi persepakbolaan Indonesia berpuluh tahun terakhir ini karena banyak pertandingan yang sudah diatur skornya.

Sinyalemen Asiaweek delapan tahun lalu itu ternyata belum juga terhapus di tahun 2006 ini.

Di tengah kecaman terhadap kerja amatiran personil PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) yang mengakibatkan Arema Malang dan Persipura Jayapura tercoret dari keikutsertaannya dalam Liga Champions Asia, muncul juga lagu lama itu.

Mantan pemain dan pelatih tim nasional, Sinyo Aliandoe, seperti dikutip Kompas (27/2/2006 : 30), menyatakan bahwa keteledoran PSSI ini memperpanjang potret buram manajemen PSSI. Selain kasus tersebut, lanjut Sinyo, PSSI juga dilingkupi berbagai isu tak sedap, salah satunya seputar dugaan pengaturan skor pertandingan.

“Isu-isu itu bisa kita rasakan, oleh para pemain, manajer dan pelatih, sampai penonton. Tetapi memang sulit membuktikannya,” ujar Sinyo lagi.

Di kubangan lumpur kebejatan absolut, black magic yang mencederai nilai-nilai luhur olahraga itu, maka seorang Peter Withe, Rafael Benitez sampai Jose Mourinho, dijamin mandul walau mereka telah mengeluarkan segala magisnya. Magis Harry Potter pun pasti hanya jadi bahan tertawaan di Indonesia.

Dan kita, para suporter ini, apa hanya akan terus berbahagia menjadi kambing congek sekaligus bertingkah laku dengan gaya burung unta, membenamkan kepala dan akal sehat kita di dalam tanah, dengan nurani terus tumpul, karena tidak mau tahu dengan segala kebobrokan yang terjadi selama ini dalam pengelolaan sepakbola Indonesia ?



Wonogiri, 7 Maret 2006


hhsim

Go Where Love Goes dan Patah Hati Seorang Suporter Sepakbola

Oleh : Bambang Haryanto



SAYA JATUH CINTA SAMA ERIKA. Ia perempuan Yogya. Seorang reporter acara televisi. Juga penyiar radio yang menyukai Celine Dion. Ada hambatan teknis : ia sudah bersuami. Sudah pula punya anak. Jatuh cinta pada waktu yang keliru. Pada sasaran yang keliru. Bila ada yang harus disalahkan, dan diadukan kepada Tuhan, pastilah karena ia seorang wanita yang sangat menawan.

Breaking up is hard to do. Itu kata Everly Brothers. Dan memang benar, betapa momen untuk bubaran atau berpisah, temasuk berpisah dengan impian dan perasaan jatuh cinta, sulit dilakukan. Tetapi saya melakukannya dengan sesuatu aksi yang menurut Ellen Kreidman dalam bukunya Light Her Fire (1991), disukai oleh wanita. Menurut Kreidman, wanita itu menyukai kata-kata. Saya melagukan swan song dengan menulis surat yang panjang, 26 halaman, kepadanya. Suatu saat, surat itu akan saya pajang dalam blog saya.

Perasaan jatuh cinta yang tidak kalah memabukkan, dan akhirnya hanya sering membuat saya patah hati, adalah jatuh cinta kepada sepakbola. Saya mengalami salah satu momen puncaknya sekitar tahun 2002 yang lalu. Saat itu, di bulan Januari 2002, ketika mabuk menggagas masa depan suporter sepakbola Indonesia, di Perpustakaan British Council, Gedung Widjojo, Jakarta, saya sempat merenung : untuk apa semua ini aku lakukan ?

Siapa pula yang menyuruh ?

Di depan saya terdapat setumpuk majalah sepakbola Inggris, FourFourTwo, buku Kevin Keegan : My Autobiography (1997), juga biografinya David Beckham, My World (2000), buku hebat suntingan Gary Armstrong dan Richard Giulianotti, Football Cultures and Identities (1999) dan juga Fear and Loathing in World Football (2001). Belum lagi literatur penunjang seperti karya Raymond Boyle dan Richard Haynes, Power Play : Sport, the Media and Popular Culture (2000) dan bukunya Frank Kew, Sport : Social Problems and Issues (1997). Semuanya mengundang untuk dipelajari dan diresapi.

Mabuk cinta yang kemudian berbuah. Imbalan untuk aksi terbujuk melakukan komitmen total dalam mengkaji masalah suporter sepakbola, mungkin mirip fenomena yang diungkapkan oleh Tony Buzan, yaitu goethendipity. Istilah unik, hasil peleburan atau amalgamasi cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity, yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :

“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini”

Pertanyaan yang menghantui saya di Perpustakaan British Council itu, untuk apa semua ini aku lakukan, rupanya segera memperoleh jawaban. Takdir bergerak ke arah yang terjanji. Esai saya berjudul “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif” masuk final dalam Honda’s The Power of Dreams Contest 2002. Sekaligus kemudian memenangkannya !

Cerita kecil di atas, bagi saya, mengukuhkan pemahaman bahwa cinta tidak akan sia-sia. Sebagai suporter sepakbola, dukungan untuk tim kesayangan kita, juga tidak sia-sia. Tentu saja banyak dari kita yang ingin segera cepat-cepat menuai hasil dari ekspresi jatuh cinta kita itu, yaitu tim kita menang dan akhirnya meraih juara.

Tetapi kita sering lupa bahwa proses tidak kalah penting dibanding hasil akhir. Momen-momen kecil sebagai suporter sepakbola, sering kita anggap sebagai hal yang sepele. Saya mencoba tidak demikian. Kegembiraan atau kekecewaaan adalah realitas kehidupan. Saya berusaha mereguk hikmah dan pelajaran.

Sebagai orang yang suka menulis buku harian, bahkan kemudian menuangkannya dalam situs blog-blog saya, peristiwa sepakbola yang masuk dalam pengamatan saya sebagai suporter sepakbola, sebisanya saya catat. Kemudian dicerna, diolah, dan hal yang paling saya sukai adalah : menceritakannya kembali.

Untuk Erika, wanita menawan yang membuat saya patah hati, saya telah menulis surat panjang untuknya. Untuk membahagiakannya. Untuk mengatakan betapa ia adalah seseorang yang berharga. Untuk sepakbola Indonesia, yang selalu saja membuat saya patah hati karena jebloknya prestasi di kancah dunia dan lilitan budaya korupsi yang bagai tangan-tangan gurita mencekiknya (baca Asiaweek, 5/6/1998), saya akan terus menuliskan kegeraman, rasa benci dan amarah saya, dalam blog-blog saya.

Pagi ini, di Wonogiri yang kota saya, Andre Bocelli yang berduet sama Holly Stell mengalunkan lagu indah, “Go Where Love Goes”. Lagu itu mudah memunculkan bayangan sosok Erika. Terdengar refreinnya yang inspiratif :

Go where love goesGo where your heart leadsAngels are pleading with youGo thereGo where love dares
Pergilah kemana cinta dan hati akan membimbingmu. Para malaikat akan bersamamu, mendukungmu. Bagi seorang suporter sepakbola, kita tahu kemana kita akan pergi. Dengan cinta. Walau sering akhirnya harus membawa pulang patah hati.


Wonogiri, 17/2/2006




hhsim

Daniel Nivel, Beri Mardias dan Dunia Kecil Sepakbola Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto



MEMBOBOL GAWANG SENDIRI. Banyak orang suka terperangkap dalam dunia kecilnya sendiri. Mereka tidak peduli terhadap pelbagai hal atau peristiwa yang mereka anggap tidak memiliki kaitan langsung dengan hidupnya. Peristiwa politik dan peristiwa dunia, sekadar contoh, merupakan hal yang begitu saja dan begitu mudah terlupakan.

Terbunuhnya wartawan Udin, meninggalnya Marsinah, hilangnya Wiji Thukul, dan mungkin juga nanti kasus tewasnya pejuang HAM, Munir, akan segera mudah terhapus begitu saja dari memori banyak orang.

Untuk komunitas sepakbola Indonesia, orang mungkin sudah tidak ingat lagi skandal sepakbola gajah antara Thailand dan Indonesia di Piala Tiger 1998, di Vietnam. Saat itu Mursyid Effendi sengaja membobol gawang timnya sendiri, agar tim Indonesia tidak bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal.


Image hosted by Photobucket.com

DUNIA KERDIL SEPAKBOLA INDONESIA. Sudah terlalu lama prestasi sepakbola Indonesia tidak mampu berbicara di kancah internasional. Dukungan suporter-suporter cantik Indonesia di Stadion Kallang Singapura saat Final Piala Tiger 2005, tidak mampu membangkitkan tim kita pula. Mungkinkah itu semua terjadi karena kita selalu berpikir dan berwawasan kerdil ? (Foto : Dokumentasi Tabloid BOLA).

Orang juga mudah lupa preseden sepakbola gajah kelas dalam negeri, yang terjadi di tahun 1988. Dalam pertandingan terakhir putaran kedua kompetisi Divisi Utama Perserikatan PSSI Wilayah Timur, 21 Februari 1988, tuan rumah Persebaya dibantai oleh Persipura, 0 – 12. Kekalahan busuk penuh rekayasa ini merupakan balas dendam tak langsung Persebaya atas PSIS Semarang, sehingga juara bertahan 1986/1987 tersebut tidak dapat lolos untuk berlaga di putaran final di Senayan.

Bagi kalangan suporter sepakbola Indonesia, nama Suherman, suporter Persebaya yang tewas di stadion Mandala Krida Yogyakarta atau nama Beri Mardias, warga Jakarta tetapi pendukung PSP Padang yang tewas dikeroyok suporter Persija di lingkungan Senayan, mungkin sudah lenyap pula dari ingatan.

Kalau saja Daniel Nivel tinggal di Indonesia, nasibnya mungkin akan serupa pula. Tetapi karena ia tinggal di negara yang budaya tulis dan bacanya maju, penderitaannya justru menerbitkan ilham.

Daniel Nivel adalah nama polisi Perancis yang saat berlangsungnya Piala Dunia 1998 dikeroyok sampai luka berat oleh gerombolan suporter sepakbola berandalan asal Jerman.

Saat itu satu jam sebelum pertandingan antara Jerman melawan Yugoslavia, kota Lens di Perancis yang cerah dan damai dikejutkan terjadinya bentrokan antara polisi anti hura-hara Perancis melawan ratusan brandal sepakbola asal Jerman.

Hasil pertandingannya sendiri adalah 2-2. Jerman menjadi pemuncak grup F dan lolos ke babak berikutnya. Tetapi memori kebrutalan brandal sepakbola Jerman itu terpateri pada seorang polisi Perancis, Daniel Nivel, yang tubuhnya tergeletak koma, nyawanya meregang, di tepi jalan dan bersimbah darah. Brandal sepakbola asal Bochum Jerman yang diduga menjadi penganiaya Daniel Nivel akhirnya divonis masuk penjara selama 3 tahun.

Penderitaan Daniel Nivel, yang cacat seumur hidup tersebut, telah mengetuk nurani Egidius Braun, ketua “PSSI”-nya Jerman untuk berbuat sesuatu. Idenya segera mendapat dukungan dari FIFA, UEFA, organisasi sepakbola Perancis dan Jerman, dan keempat organisasi lainnya sebagai pilar pendiriannya.

Berkedudukan di Basel, Swiss, terbentuklah kemudian Yayasan Daniel Nivel (Daniel Nivel Foundation/DNF). DNF berkiprah menggalang penelitian mengenai tindak kekerasan suporter sepakbola, aksi-aksi pencegahan dan pemidanaan sampai upaya menyantuni korban-korban tindakan brutal suporter sepakbola. Dana akan dihimpun, antara lain dari hasil pemasukan pertandingan amal sepakbola yang mereka rencanakan dan sumber-sumber donasi lainnya.

Dalam pagelaran Piala Dunia 2006 di Jerman nanti, Daniel Nivel akan juga diundang sebagai tamu kehormatan FIFA.

Apakah kisah dan kiprah mulia serupa dapat juga terjadi di Indonesia ? Misalnya dengan mendirikan Yayasan Beri Mardias, untuk mengenang kematiannya karena menjadi suporter sepakbola ? Saya pesimis. Karena insan-insan sepakbola Indonesia hanya suka terperangkap dalam dunia kecil mereka sendiri.

Sejak dulu. Hingga kini.



Wonogiri, 29 Januari 2006


hhsim

Elegi Untuk Widhiana Laneza dan Sepakbola Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto



Sepakbola Kotor Di Indonesia. Sepakbola Indonesia telah mati. Karena sportivitas telah lama mati. Wartawan harian Kompas, Yulia Sapthiani, ketika menulis laporan tutup tahun persepakbolaaan Indonesia sepanjang tahun 2005, mengemukakan analisis yang mengentak.

Suasana kejiwaan yang dominan melingkupi insan sepakbola negeri besar ini adalah sikap mental katak dalam tempurung. Juara liga Indonesia adalah tujuan puncak, meski harus dilalui dengan cara “kotor” sekali pun, tulis Yulia. “Kompetisi di Indonesia sama sekali tidak menganut asas fair play”, keluh Fachry Husaini, asisten pelatih tim nasional.

Saya jadi saksi, baik di Jakarta atau pun di Singapura, timnas kita dibekuk oleh Singapura dalam Final Piala Tiger 2004/2005. Sesudah kegagalan itu, PSSI jualan kembang gula penghibur baru lagi kepada publik bola tanah air. Mencanangkan target juara di SEA Games 2005 Manila, tetapi akhirnya hanya berbuah betapa anak-anak asuhan Peter Withe kembali ke tanah air dengan tangan hampa. Perunggu pun tidak.

Panorama puncak kompetisi domestik, Liga Indonesia 2005, dicederai mentah-mentah oleh Persebaya yang mengundurkan diri, yang membuat Persija melenggang santai meraih puncak. Banyak orang bersyukur, tim ibukota negara yang melimpah uang itu akhirnya dirontokkan oleh anak-anak mutiara hitam Papua.


Image hosted by Photobucket.com[

TAK ADA KEBANGKITAN. Kehadiran suporter sepakbola Indonesia di National Stadium Kallang Singapura, diramaikan spanduk yang khusus kami bawa dari Indonesia. Kalau Anda jeli, foto paling kanan adalah fotonya Mayor Haristanto dan saya.


Sayang, tak ada keajaiban, tak ada kebangkitan. Di leg pertama Final Piala Tiger 2004/2005, di Senayan timnas kita dipukul Singapura, 1-3. Di Kallang ini kami jadi saksi, timnas kembali kalah dengan 2-1. (Foto : BOLA)>


Cinta Yang Belum Padam. Bagi saya, sepakbola Indonesia memang telah lama mati. Saya pun telah memvonis sepakbola Indonesia telah lama mati. Di Tabloid BOLA (24/1/2003), persis tiga tahun lalu, saya menulis opini : “Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati”. Sejak itu, saya tak menulis opini lagi di tabloid terbesar ini.

Tetapi api cinta kepada sepakbola, ternyata belum padam sama sekali. Gara-gara saya memiliki blog Suporter Sepakbola ini, rasa mabuk kepayang terhadap sepakbola, rupanya harus terusik lagi. Membara lagi.

Inilah ceritanya. Gara-gara boss majalah Freekick, yang akan terbit di awal tahun 2006 ini, chatting dengan Totot Indrarto, mantan creative director SatuCitra yang juga kritikus film, arahnya belok ke saya.

Totot pernah menggagas Mandom Resolution Award (MRA) 2004, di mana saya ikut serta. Saya menuliskan suka-duka ikut kontes itu dalam blog. Pas berlangsungnya MRA 2004, sampai kini, belum pernah ngomong langsung dengan dia. Komunikasi hanya lewat email. Rupanya ia berkenan menjelajah blog-blog saya, dan nyasar ke blog saya mengenai suporter sepakbola Indonesia. Boss majalah ini yang sering menulis kolom sepakbola di harian Kompas, Andi Bachtiar Yusuf, akhirnya meminta saya untuk menulis kolom di majalah Freekick itu pula.


Saya tinggal di Wonogiri. Karena kota kecil saya ini topografinya terkepung oleh gunung, saya tidak bisa nonton tayangan sepakbola di SCTV dan TV7. Juga terlalu lama tidak membaca-baca FourFourTwo atau World Soccer. Terakhir, membolak-balik kumpulan lelucon mengenai David Beckham dan istrinya, di toko buku Times NewsLink, Terminal 1 Bandara Changi Singapura, tetapi aku malas untuk membeli.

Masa lalu itu, cinta lama saya terhadap sepakbola, lalu melambai-lambaiku. Untuk kembali. Persis bersamaan momennya, gara-gara menulis blog mengenai wanita-wanita terindah saya, masa lalu lain juga merenggutku untuk kembali.


Wanita Terindah Telah Pergi. Menjelang akhir Desember saya menerima email dari Verdi Amaranto*. Nama tak kukenal. “Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan blog Anda, "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list wanita-wanita terindah Anda. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya” (* Ketika saya naksir Anez, Verdi lagi menyelesaikan kuliahnya di Paris, Perancis).

Image hosted by Photobucket.com


Widhiana Laneza

Sepakbola Indonesia telah lama mati. Kini seorang wanita terindahku, “telah berjalan di antara awan” pula. “Now she's walking through the clouds /With a circus mind /That's running wild /Butterflies and zebras /And moonbeams and fairytales /All she ever thinks about is /riding with the wind “, penggalan lirik lagu “Little Wing”-nya Jimi Hendrix.

Kepergian Anez, yang dulu suka bercanda dengan anjing kampung yang ia beri nama Grigri, “jimat” dalam bahasa Perancis, membuatku mampu menangis pada puncak malam. “Tumpahkan air matamu hingga memenuhi sebuah kapal”, pepatah Srilanka yang memberi arah bagaimana kita harus melupakan rasa kehilangan dan kesedihan. Untuk itu, telah pula aku buatkan situs blog, Song For Anez, untuk mengiringi kepergiannnya yang abadi. Kepergian Anez, yeah, harus diikhlaskan


Tetapi bagaimana dengan sepakbola ? Peneliti seks Shere Hite yang terkenal dengan buku Hite’s Report, yang gengsinya setara dengan buku-buku laporannya Johnson dan Masters, telah menyimpulkan : football can be categorised as a type three masturbatory technique. Sepakbola dapat dikategorisasikan sebagai teknik masturbasi yang ketiga.


Mari kita nikmati ramai-ramai sensasinya.
Di bulan Juni-Juli mendatang, mari kita orgasme sama-sama pula !

Wonogiri, 3 Januari 2006


hhsim